Dadaku sakit. Benda kecil seukuran kepalan tangan berdentang-dentang di dalam sana, begitu kerasnya hingga tubuhku gemetar. Tembok tempatku bersandar seolah bergelenyar. Raya mendekatkan tubuhnya pada tubuhku. Matanya berbisa, akan membunuhku dalam sekejap. Namun, sekalipun aku tahu mati adalah risikonya, aku tetap tak dapat memalingkan pandangan dari matanya. Aku mencandu bisa dan kematian di belakang mata itu. Pun bibirnya yang perlahan menenggelamkanku dalam ciuman yang dalam. Dadaku berdebar. Duniaku perlahan jadi gulita. Aku menyelam dalam-dalam di dalam ciuman, menghayati empuk bibirnya serta jemarinya yang menyibak helai rambutku, kemudian menyelipkannya di belakang kupingku. Aku gemetar. Benda kecil sekepalan tangan di dalam dada semakin keras berdentang. Kuremas lengannya sembari mengeratkan ciuman. Kumohon, Jantung, berkhianatlah kali ini.
***
Raya menyeruput kopinya dengan ribut. Sudah jadi kebiasaannya. Seruput kopi yang ribut menandakan kenikmatan dan penghargaan, katanya suatu ketika. Aku mengangguk saja sebab tak paham apa nikmatnya cairan hitam nan pahit itu. Secangkir tehku akan menemani kopinya sementara aku menemani waktu mengasonya.
“Kau tak keberatan aku merokok?”
“Tidak.”
“Terima kasih.”
Ia selipkan sebatang di bibirnya lalu memantik api. Asap putih segera membumbung tinggi. Hisapan pertama selalu ia nikmati dengan takzim, di dunianya sendiri. Setelah hisapan pertama itu dihembuskan, ia cepat-cepat kembali ke dunia ini. Aku tahu rokok tak baik, tetapi pemandangan di depanku sungguhlah yang terbaik.
“Masih banyak pekerjaanmu?” tanyaku yang sebenarnya tak penting. Wajah lelahnya seharusnya sudah bisa mewakili jawaban.
“Cukup banyak. Aku masih harus menyiapkan replik untuk persidangan tiga hari lagi. Kasus besar. Dan kau pasti sudah tahu apa yang mengikuti kasus besar.”
“Publisitas dan klien yang menuntut.” Kami mengucapkannya bersamaan sambil tertawa.
“Yah, seperti inilah bila bekerja di firma hukum. Kau perlu membangun reputasi, ia akan jadi media publikasi yang terbaik, lalu klien-klien baru akan berdatangan. Kau tak bisa diam saja sebab hukum di luar sana bergerak demikian cepatnya.”
“Dan klienmu kali ini adalah seorang penuntut?”
“Tentu saja. Tidak ada klien yang tidak menuntut. Apalagi bila legal fee yang ia bayarkan cukup besar.” Raya terkekeh. Manis.
“Hmm.. Berat juga pekerjaanmu.”
Raya menghirup rokoknya sebentar lalu menghembuskan asapnya menjauhiku. “Kamu sendiri, bagaimana pekerjaanmu?”
“Baik. Ada beberapa naskah baru yang sedang kukerjakan.”
“Novel?”
“Ya.”
“Menurutmu mereka akan keluar dengan luka-luka kecil atau babak belur terlebih dahulu di tanganmu?”
“Hahaha. Kau membuatku terdengar seperti seorang gladiator.”
“Kamu memang seorang gladiator, when it comes to editing.”
“Kamu sedang memuji atau mencelaku?”
“Memuji tentu saja. Mana berani aku mencelamu?”
Aku tergelak. “Terima kasih kalau begitu. Ya, ada salah satu naskah yang menurutku memiliki ide cerita yang sangat menarik. Penulisnya pun sepertinya seorang yang pandai. Hanya saja moodku langsung jungkir balik ketika melihat ia mengetikkan ‘di sana’ dengan menggabungnya.”
Giliran Raya yang tergelak. “Kau memang penderita OCD , Liya, terutama soal tata bahasa dan penulisan.”
“Terima kasih, Ray. Sekali lagi aku terima itu sebagai pujian.” Kami tergelak. Tak peduli pada suasana kafe yang sedang ramai atau orkestra sumbang permainan klakson mobil-mobil yang mengular terjebak kemacetan jam pulang kerja. Waktu berlalu dengan anggun, senja perlahan turun, malam sedang gugup naik ke panggung. Cangkir-cangkir kami telah menyusut isinya.
“Kau pulanglah. Istirahat.”
“Ya. Kau akan kembali ke kantor?”
Raya melirik jam tangannya dengan malas. “Ya. Aku harus menyelesaikan replik itu malam ini. Tak ada waktu lagi.”
“Baiklah. Selamat bekerja. Terima kasih untuk tehnya. Kau selalu berhasil membuat waktuku jadi menyenangkan.”
“Hmm.. Aku mencium api. Kau sedang merayuku?”
Aku tercekat. Sial. Mana berani aku? “Satu-satunya api di tempat ini sekarang adalah itu,” aku menunjuk batang rokok di sela jemarinya, “dan, tidak, aku tidak sedang merayumu.”
“Kau yakin?”
Sialan. Jangan paksa aku untuk berterus terang padamu, aku mengumpat dalam hati. Kurasakan darah panas pelan-pelan naik ke pipi. Aku mulai meragukan diriku sendiri. Mungkin aku memang sedang menyimpan api yang tak kuketahui.
“Tentu saja, Raya. Aku tak sembarangan merayu orang yang baru beberapa minggu kukenal.” Semoga ini terdengar biasa-biasa saja di telinganya. Raya menatapku dalam-dalam. Matanya beracun, kau tahu. Sejenis racun yang akan membuatmu mabuk terlebih dahulu lalu membunuhmu pelan-pelan tanpa kau sadari.
“Anggun akan pulang besok malam.”
Baru saja ia menuduhku merayunya, sekarang ia bilang kekasihnya akan pulang? Aku ini sebenarnya sedang apa? Minum teh atau naik wahana roller coaster?
“Oh. Baguslah.”
“Aku ingin mengenalkannya padamu.”
“Menarik. Bagaimana kau akan mengenalkanku? Maksudku, mengingat kita sendiri baru beberapa minggu berkenalan.”
“Hmm.. sebentar. Biar kupikirkan dulu.” Raya berpura-pura sedang berpikir. Matanya melepaskan genggamannya dari mataku. Namun, mataku justru dengan bengal membuntutinya. Mata itu kembali lagi, kali ini dengan lirikan nakal penuh kejahilan.
“Tentu saja aku akan mengenalkanmu sebagai kawanku! Kawan yang begitu menyenangkan diajak bicara. Hahaha. Dengar, Liya. Tak peduli baru berapa lama aku mengenalmu, kau kini sudah jadi temanku.”
Teman. Tentu saja teman! Memangnya apa yang kau harapkan, Liya?
Baiklah. Dengan kekuatan pemahaman akan posisiku sebagai teman ditambah tawa hambar yang dipaksakan, kutanggapi pernyataannya dengan sebiasa mungkin.
“Hahaha. Iya. Tentu saja.”
“Ya.”
Ada hening panjang yang canggung membelit aku dan Raya. Mendadak aku jadi peduli betul pada ramai suasana kafe dan ribut klakson mobil-mobil di jalanan.
“Baiklah, Ray. Aku pulang dulu. Selamat bekerja,” kataku akhirnya sembari meraih tas dan cardiganku. Raya mengikuti gerakku dengan mata beracunnya. Aku sungguh tak keberatan menjemput kematian di bawah mata itu. Sayangnya, aku tak boleh berpayung teduh sambil menenggak racun di sana. Pilihan terbaik memang mengikuti saran akal sehatku untuk segera melarikan diri dari kafe sebelum lelaki itu mencium gelagat janggalku.
“Ya. Hati-hati, Li. Akan kutelepon kau malam ini.”
“Sebaiknya malam ini tak usah, Ray. Aku.. Aku agak lelah hari ini,” dustaku padanya. Ia memandangiku dengan tatapan yang tak dapat kupahami maksudnya. Namun, sepertinya ia memahami maksudku karena ia kemudian mengangguk pelan. Aku balas mengangguk lalu segera keluar dari kafe itu, ikut berbaur dengan orkestra sumbang di jalanan.
***
Jantung, berkhianatlah kali ini. Katakan apa yang sesungguhnya kubenamkan dalam pembuluh darahmu. Teriaklah yang keras.
Aku mendengar napas Raya yang memburu. Napasku mengejarnya dengan terburu-buru. Aku mengulum bibirnya yang lembut, ia sesekali menggigitnya. Jantungku menggedor dengan barbar. Sesuatu tiba-tiba melintas dalam kepalaku. Tidak. Ini tidak benar. Perlahan kujauhkan bibirku. Kini ia dan milik Raya berjarak tak lebih dari dua senti. Aku bisa merasakan embusan napasnya di bibirku. Aku mendengar diriku terengah-engah. Dengan keras berusaha kutepis kabut tipis dalam pikiranku. Kabut itu menghalangi pandangan dan penilaianku.
Aku melihat Raya menggerakkan kepalanya lalu meraih bibirku sekali lagi. Jemarinya bertamasya dari rambut di belakang kupingku menuju tengkukku. Tangannya yang masih bebas merangkul pinggangku dengan erat. Aku mangsa yang tak berkutik di hadapan pemangsa. Dan aku mangsa yang menyongsong kematiannya dengan tangan terbuka. Kubalas ciumannya. Sekali lagi. Dua kali lagi. Tubuhku bisa merasakan detak jantungnya. Pastilah ia juga bisa mendengarkan derap jantungku. Setengah mati aku berharap jantungku mulai bicara tentang pilihannya menjatuhkan diri pada Raya. Pilihan yang ditolak mentah-mentah untuk diucapkan oleh lidah yang bersekongkol dengan otakku. Raya sudah berpasangan dan aku hanyalah satu yang mengganjilkan yang sudah genap. Ah!
“Tidak, Ray.” Kali ini kedua tanganku pun mendorong tubuhnya perlahan. Napasku masih terengah, susah payah menghadapi terjangan serotonin. Ia masih memelukku dan memandangiku dengan syahdu.
“Li, kena..”
“A.. Aku perlu ke kamar mandi sebentar,” potongku. Raya melepaskan belitan lengannya dengan enggan. Terhuyung aku menuju kamar mandi tamu, terlalu jauh untuk menuju kamar mandi di dalam kamarku. Aku terlalu terguncang. Di dalam, kupandangi bayanganku di cermin. Aku terlihat sangat berantakan, secara fisik maupun emosi. Aku mengutuki diriku atas apa yang baru saja terjadi. Aku mengutuki Raya yang datang tiba-tiba ke kontrakanku lalu tanpa permisi menciumku. Aku bahkan belum sempat mengunci pintu (pentingkah hal ini untuk kusebutkan?). Entah apa yang bertamu ke dalam kepalanya. Entah permainan macam apa lagi yang sedang dimainkannya. Aku tak punya tamu, tak punya permainan apapun. Yang di dadaku hanyalah kekaguman yang tumbuh keliru arah.
Kuputar kenop pintu kamar mandi setelah berhasil mengatur napas dan mengusir kabut tipis dalam pikiran. Raya sedang duduk di sofa, memandangi televisiku yang diam. Aku duduk di sampingnya, meletakkan tanganku di punggung tangannya. Ia menoleh. Aku tersenyum.
“Liya, maaf.”
“Ya.”
“Aku sudah menempatkanmu dalam posisi yang sulit.”
“Tak apa.” Oh, Ray, sebenarnya aku sedang rontok sel demi sel.
“Liya.”
“Hmm?”
Ia berhenti sejenak, menimbang sesuatu. “Kau.. Kau mencintaiku?”
Aku terkesiap. Aku tahu Raya adalah lelaki yang sangat berterus-terang. Tetapi, keterus-terangan seperti ini tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Ia dengan brilian telah menyudutkanku, menodongkan senapannya ke arahku padahal tak ada yang akan ia dapat dari kematianku. Aku berdehem pelan, membersihkan tenggorokan sekaligus memanfaatkan jarak waktu yang tipis itu untuk cepat-cepat berpikir. Harus kujawab dengan apa, Ray?
“Tentu saja. Kau tak tahu?”
Kini gilirannya terperanjat. Jantungku bersorak gilang-gemilang. Persekongkolan otak dan lidah tak berhasil membendungnya.
“Aku telah jatuh hati padamu, Ray. Cinta ternyata tak melulu soal waktu. Segalanya terasa tepat dan dekat seolah telah bertahun-tahun aku mengenalmu. Bodohnya aku. Tapi, sudahlah. Cinta juga tak selalu soal bersatu, bukan?” Aku tersenyum, berusaha meredam kekalutannya dan, yang lebih penting, kesedihanku. Kupeluk ia.
“Sekarang jemputlah Anggun. Tak baik membiarkannya menunggu,” bisikku di telinganya. Lidahku terasa getir ketika mengucapkan nama wanita itu. Mungkin bagian hatiku yang patah telah melubangi kantung empedu di sebelahnya, melepaskan cairan hijau kekuningan itu ke seluruh organ dalamku yang kemudian merembes hingga ke balik lidah.
Raya balas memelukku. “Ya. Terima kasih, Liya.”
Aku memeluknya seerat mungkin, menghapalkan aroma tubuhnya, hangat lengannya. Mungkin tak akan ada lagi saat seperti ini. Setelahnya, kurelakan tubuhnya menjauh. Raya memandangku, menyibak helai poniku dengan ragu, seolah ada yang hendak ia katakan namun akhirnya ia urungkan. Ia bergegas bangkit dari sofa dan kuantarkan hingga ke pintu depan. Ia meraih kenop pintu lalu terdiam. Dengan cepat tubuhnya berbalik ke arahku. Ia mengecup bibirku. Lama. Dalam. Diam. Mataku panas.
“Aku juga mencintaimu, Liya.” Gemuruh halilintar menyambar entah dari mana. Mendung menyergapku.
Lalu kudengar sayup selamat tinggal dan pintu yang ditutup pelan. Kupegangi dadaku, menjaga yang di dalam sana agar tak berhamburan keluar. Kukunci cepat pintu depan. Kukunci rapat pintu di dalam dada. Yang kulihat kemudian hanyalah ubin yang berkabut dengan air mataku terserak di atasnya. Hujan turun membadai. Hanya di mataku.
*****
April 2014
Catatan di luar cerita:
Replik: jawaban gugatan
OCD: singkatan dari Obsessive Compulsive Disorder, suatu gangguan kecemasan yang menyebabkan penderitanya memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan suatu perilaku secara berulang demi menghilangkan kecemasan tersebut. Beberapa gejala gangguan ini antara lain takut kotor karena takut terkontaminasi kuman, tergila-gila pada kerapian atau ketepatan, dan sebagainya.
“Kekaguman keliru arah”, diambil dari lirik lagu berjudul Bumerang yang dipopulerkan oleh Tulus.