Aku membasuh tubuh di bawah pancuran air hangat. Salah satu kekonyolan hidup di Jakarta adalah udara di luar begitu panas namun aku selalu mandi air hangat sebab pendingin udara di dalam kamar kuatur pada suhu terendah. Lalu manusia masih meributkan asap knalpot dan pembakaran hutan sebagai penyebab pemanasan global? Mereka lupa menengok kamar mereka sendiri. Aku sendiri tidak peduli pada pemanasan global. Bumi ini, begitu juga setiap hal dalam semesta ini, memang akan menemukan akhirnya. Suatu hari nanti. Bukankah seperti itu aturannya?
Kugosokkan shampoo di rambutku sambil membiarkan air tetap mengguyur kepala hingga kaki. Berada di bawah pancuran selalu membuatku merasa tenang, seperti segala resah dibawa hanyut air ke selokan, seperti hujan. Ah, hari itu juga hujan. Aku tersentak. Kuputar keran pancuran agar air mengalir lebih deras. Aku ingin menghanyutkan ingatan itu, yang hari ini entah kenapa muncul terus-menerus. Ingatan akan hujan yang turun ketika itu, yang dulu membuat dadaku sesak, pun hari ini. Sayangnya sudah lama aku lupa bagaimana cara menangis.
Puas mengguyur diri dengan air, kututup keran perlahan. Sisa-sisa air berjatuhan seperti air mata. Ujung-ujung rambutku meneteskan air, bergulir pelan di pipi. Segala yang artifisial memang tak pernah bisa memuaskan, pun tangisan. Kuhela napas dengan keras lalu segera mengambil handuk dan mengeringkan tubuh. Dengan handuk bergelung di pinggang, aku keluar kamar mandi. Kudapati perempuan itu masih duduk di tepi tempat tidur. Kali ini pandangannya teralihkan dari jendela. Ia tersenyum padaku.
“Hmm.. Ternyata aroma musk itu dari sabun mandimu.”
Aku ikut duduk di tepi ranjang, mencoba melihat apa yang sedari tadi ia perhatikan. “Ya. Pemberian Lea. Apa yang kamu lihat?”
Walaupun tak langsung menatapnya, aku tahu sikapnya berubah karena mendengar nama Lea. Ia bergeser sedikit, mendekatiku.
“Lihat lampu-lampu di gedung tinggi,” jawabnya. Ia diam sejenak. Aku menantikan kelanjutan kalimatnya dengan sabar.
“Reza, Lea tidak akan cemburu?”
Aku spontan tertawa mendengar pertanyaannya. Itu konyol. Ia seharusnya menanyakan hal itu kepada dirinya sendiri. Mereka sama-sama perempuan. Aku yakin jawabannya akan mirip-mirip dengan jawaban Lea. Namun, aku masih cukup sopan untuk tidak mengutarakan hal itu padanya.
“Dia tidak akan cemburu bila tidak tahu,” jawabku singkat. Kulihat sepasang mata cantiknya melahap habis mataku. Perempuan ini tergila-gila pada lelaki yang salah. Aku merasa kasihan. Tetapi tidak terlalu kasihan juga. Setelah beberapa kali bertemu dengan perempuan seperti ini, rasa kasihan itu akan sirna perlahan. Percayalah. Mereka juga gemar bermain-main dan mempermainkan.
“Yah, aku hanya merasa bersalah.”
“Banyak?”
“Tidak terlalu banyak.”
“Ya sudah. Kita nikmati saja kalau begitu. Toh, besok kamu sudah tidak ada di sini.”
Ia menatapku dalam-dalam. Aku sudah lama tidak mengartikan tatapan seseorang. Terlebih lagi malam ini. Aku tidak mau repot-repot menebak isi kepala perempuan yang baru pertama kali kutemui.
“Ya, kamu benar. Dua bulan lagi aku baru kembali dari penelitian di Kupang. Tapi setelah ini kita tetap saling kontak, kan?” tanyanya. Perempuan yang kukencani selalu berharap bisa mempertahankan kontak mereka denganku. Sementara aku hanya ingin melanjutkan hubungan dengan sedikit di antaranya. Sebagai kawan.
“Tentu saja. Kamu orang yang menyenangkan, Keina. Kita bisa berkawan lama.”
Keina tersenyum. Aku tersentak. Sejak awal melihat senyum dalam foto yang ia kirimkan lewat Blackberry Messenger, aku sudah merasakan hal yang aneh. Senyumnya mengingatkanku pada sesuatu dari masa lalu. Entah apa itu. Dan malam ini ketika kami akhirnya bertemu (Keina adalah kenalan Lea yang tinggal dan bekerja sebagai peneliti di Belanda, kali ini pulang ke Jakarta sebelum berangkat meneliti ke Kupang), senyum itu memenuhi kepalaku. Aku merasa ada yang menggigit-gigit jantungku. Perih. Perasaan macam apa ini? Asing dan menyelinap begitu saja.
“Aku suka senyummu.”
Keina tersentak lalu tersipu. “Terima kasih,” katanya. Ia tersenyum lagi. Jantungku berdebar lagi. Kencang dan kuat. Lalu, sesuatu seperti memenuhi dadaku. Pada saat yang sama aku merasa sangat kehilangan.
“Kamu jangan sampai jatuh cinta padaku.”
“Tidak. Tentu saja tidak. Kamu juga jangan sampai jatuh cinta padaku,” balasku. Ia tertawa lepas. Mau tak mau aku ikut tertawa. Ia perempuan yang menyenangkan, sayangnya. Aku melingkarkan lenganku ke bahunya, menyandarkan kepalanya di dadaku, meminta maaf dalam diam padanya. Ia balas memelukku. Tentu saja untuk alasan yang berbeda denganku.
“Mau kuantar pulang sekarang?” tanyaku. Ia melirik sebentar ke arah jam dinding di atas televisi, pukul dua dini hari, lalu menghela napas. “Boleh.”
“Ya sudah. Ganti baju sana.”
Ia mengangguk kemudian memunguti pakaiannya di ujung ranjang dan menuju kamar mandi. Tak lama terdengar air pancuran mengucur. Seperti gerimis. Seketika aku tahu apa yang mengganggu dadaku.
Rindu.
***
“Aku akan resign, Lea. Aku ingin pulang ke Surabaya.”
Ucapanku mengejutkannya. Ia baru saja duduk dan bahkan belum sempat melihat buku menu. Matanya membelalak. Bibirnya membentuk bulatan kecil yang cantik. Di hadapan cangkir kopiku yang setengah kosong, bibir merah jambu itu seperti sepotong gulali rasa stroberi. Legit menggoda. Belum lagi bila kau melihat tubuh langsing dan pinggangnya yang begitu pas di lenganku. Bibir dan pinggang itu adalah kesukaanku, selain matanya yang bulat cokelat dan rambut hitam sebahu. Di mataku Namlea sungguh seorang perempuan yang memesona.
“A.. Aku ga ngerti, Za. Kenapa?” tanyanya terbata. Sangat jelas bahwa ucapanku tadi menghentak jantungnya dengan keras. Ada sedikit penyesalan menitik di dada. Seharusnya kubiarkan ia memesan minum dulu atau sekadar berbasa-basi menanyakan kabar. Ah, hubungan kekasih macam apa yang menurutkan basa-basi dalam perbincangannya?
“Entahlah, Lea. Aku lelah. Jakarta sepertinya mengisap kewarasanku.”
“Aku pikir Jakarta adalah impianmu.”
“Tadinya. Tapi belakangan ini aku merasa seperti tersesat. Seperti mencari sesuatu di tempat yang salah.”
“Memangnya apa yang kamu cari, Za?”
Aku mengedikkan bahu, “Entahlah.”
Lea menghela napas. Selama ini ia selalu sabar menghadapiku. Aku bukanlah seorang lelaki yang baik, jauh dari standar ukuran lelaki teladan. Di kepalaku hanya ada kerja dan hal-hal lain di luar kerja yang bisa membuatku bahagia.
“Mungkin kamu hanya butuh piknik. Yuk, kita jalan-jalan ke Bali.”
Aku menggeleng. “Aku rasa masalahnya lebih besar daripada sekadar butuh piknik. Aku merasa… merasa… ada di tempat yang salah. Kau tahu, perasaan seolah sedang tersesat.”
Lea meraih tanganku dan menggenggamnya erat. “Katakan apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu merasa lebih baik.”
Aku menggeleng. “Tidak. Sayangnya tidak ada, Lea. Aku ingin pergi dari Jakarta ini. Aku lelah. Itu saja.”
Lea terlihat terpukul. Tetapi ia begitu pandai mengatur perasaannya. Aku sering heran pada wanita. Mereka sangat pandai berpura-pura. Mereka lihai tertawa sekalipun hujan badai berderu dalam kepala. Mereka bisa pergi berpesta beberapa jam setelah kekasihnya memutuskan cinta, berdansa seolah tak terjadi apa-apa. Seringkali aku berpikir bahwa sesungguhnya wanitalah yang lebih tak berperasaan daripada kami, kaum lelaki. Dan Lea adalah salah satu yang paling lihai menyembunyikan warna hatinya. Seperti hari ini. Ia perlahan menyapukan warna biru pada hatinya yang kelabu.
“Ya sudah. Pulanglah ke Surabaya. Jakarta – Surabaya tidak terlalu jauh. Kita masih bisa bertelepon, kan?”
“Tidak, Lea. Aku ingin hubungan kita juga berakhir.”
Dari perubahan ekspresi di wajahnya aku bisa tahu saat ini ia melihatku sebagai Zeus yang tengah melemparkan petir ke langit pusat perbelanjaan ini. Petir itu menyambar dan menjadikannya abu. Kulihat ia sulit bernapas. Aku jadi tak tega.
“Ma… maksud kamu… ki… kita putus?”
Aku mengangguk. Ia mendengus sambil tertawa kecil. Pahit.
“A… Aku ga ngerti, Za. Kenapa? Kenapa kita harus putus?”
“Karena ternyata aku tidak mencintaimu.” Petir sekali lagi menyambar Lea. Wajahnya seketika pias. Ia seperti akan jatuh pingsan. Aku mulai menyesali keputusanku berbicara dengan frontal pada Lea. Tapi kupikir lebih baik bila kukatakan semuanya secara langsung daripada menyiksanya perlahan sembari memberi sedikit harapan yang sebenarnya tak lagi kumiliki.
Lea menutup wajah dengan kedua tangannya. Kulihat seluruh tubuhnya gemetar. Aku tahu ia sedang mati-matian mengendalikan histeria. “Aku pikir tidak ada masalah di antara kita,” suaranya tipis dan bergetar, “semuanya baik-baik saja, Reza.”
“Tidak, Lea. Kamu salah. Kita tidak baik-baik saja. Aku laki-laki brengsek, Lea. Aku tidur dengan banyak perempuan tanpa sepengetahuanmu.”
Tubuh Lea menegak. Ada kesedihan mendalam yang tiba-tiba muncul di matanya saat ia menatapku. “Aku tahu itu, Reza.”
Kini giliranku yang tersambar petir. Bagaimana Lea bisa tahu? Dan yang lebih penting, bagaimana ia tahu tetapi tetap mengunci mulut dan perasaannya rapat-rapat dariku?
“Maksud kamu?”
“Aku tahu sejak awal Reza. Semuanya. Semua perempuan yang kamu kencani dan tiduri. Mungkin lain kali kamu harus mencari perempuan yang tidak bersinggungan dengan lingkaran pertemanan kita.”
Ah, ia benar. Aku bodoh. Tidak peduli, tepatnya. “Tapi kenapa kamu diam saja? Empat tahun, Lea, empat tahun. Dan kamu tidak marah padaku? Kamu tidak cemburu?”
“Tentu saja aku cemburu. Tentu saja aku marah.”
“Lalu, kenapa kamu diam saja?”
“Karena aku mencintaimu, Reza. Akan kulakukan apa saja demi melihatmu bahagia.” Perempuan manis berbibir merah jambu di hadapanku mulai terisak. Bahunya bergetar minta kutenangkan. Bibirnya gemetar minta kuhangatkan. Tetapi matanya yang penuh kaca tetap menatap mataku dengan mantap. Aku terpana. Entah terbuat dari apa hati seorang Namlea.
“Kamu bisa pergi ke mana saja, tinggal di mana saja, bercinta dengan siapa saja, tapi, tolong, jangan sisihkan aku dari sampingmu. Apa kamu ga tahu seberapa besar aku mencintaimu? Aku ga bisa membayangkan harus melanjutkan hidup tanpa kamu, Za. Ga bisa.”
“Lea, maafkan aku…”
“Tidak, Reza. Kamu ga salah. Aku yang salah. Aku terlalu sibuk dengan urusanku dan meninggalkanmu sendirian…”
“Tidak, Lea. Ini salahku. Aku…”
“Tidak, Za. Salahku. Mulai sekarang aku berjanji akan lebih memperhatikanmu. Aku akan membebaskanmu. Lakukanlah apa yang kamu suka. Pergilah ke mana pun kamu mau. Aku tidak a…”
“Lea!” bentakku sambil mengguncangkan bahunya, “Lihat aku! Berhentilah berkhayal bahwa ini salahmu. Ini salahku, Lea. Salahku! Aku yang brengsek, bajingan! Aku tidak mencintaimu. Aku bahkan mengkhianatimu. Aku tidak layak untuk kamu.”
Lea terbelalak melihat reaksiku. Air matanya perlahan jatuh, kekuatannya runtuh sedikit demi sedikit. “Tapi, Reza, kamu bilang kamu mencintaiku…”
“Lea, maafkan aku. Ternyata aku salah.”
“Ini semua pasti hanya bagian dari rencanamu agar aku merelakan kaupulang ke Surabaya. Aku rela, Reza. Sungguh. Aku tidak akan melarangmu.”
“Lea, coba dengarkan aku. Lelaki di hadapanmu ini bukanlah lelaki yang baik untukmu. Dia hanya akan menyakitimu.”
“Tidak, Za…” Lea setengah merengek padaku.
“Coba kamu pikirkan, kalau aku benar-benar mencintaimu, menurutmu kenapa aku tidur dengan wanita-wanita itu? Kenapa aku berulang-ulang mengkhianatimu? Ini memang pahit, Lea, tapi kenyataannya perasaan kita memang tidak sebanding.”
Lea menggeleng keras, seperti berusaha mengusir kalimat-kalimatku dari telinganya. Aku sungguh kasihan padanya. Hati yang ia titipkan padaku hanya kujadikan mainan yang kini pecah berhamburan di lantai.
“Lea, maafkan aku,” ucapku selembut mungkin, “Maafkan aku karena tidak mencintaimu sebesar kamu mencintai aku. Mungkin saat ini bukan cinta yang aku cari. Kamu perempuan yang luar biasa, seharusnya mendapatkan kekasih yang juga luar biasa. Aku tidak sehebat itu. Aku tidak layak kamu cintai sebesar itu.”
Tangis Lea pecah. Kudekatkan kepalanya ke dadaku. Ia membenamkan tangis di sana, menyirami luka dan rasa bersalahku yang subur berbiak. Mataku ikut berkaca-kaca mendengar ratapannya. Anehnya, aku merasakan kelegaan berbunga dari sana.
***
Pagi masih baru dan muda ketika taksi yang kutumpangi berhenti di sebuah gerbang bertembok putih. Dari jendela aku melihatnya dengan sedikit gentar. Jantungku berdebar kencang. Kakiku tiba-tiba lemas. Kubayar biaya taksiku dan menambahkan dua puluh ribu Rupiah untuk supirnya. Bapak tua itu mengucapkan banyak terima kasih. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kuraih ranselku dan perlahan keluar dari taksi. Di depan gerbang itu aku terpaku. Tenggorokanku kering, perutku mual bergejolak. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku tidak membawa hantaran apa-apa. Kuedarkan pandangan ke sekelilingku. Di ujung jalan sebelah kiri sebuah kios bunga telah buka. Aku bergegas ke sana dan membeli seikat krisan putih. Bunga itu selalu jadi favoritnya. Ia tak pernah suka mawar. Mawar terlalu populer dan mewah, katanya, krisan putih sebaliknya. Kembang itu begitu sederhana dan rendah hati namun tak kalah indah dari mawar. Ah, ia bahkan bisa membaca hati sekuntum bunga yang tak pernah kutahu di mana letaknya.
Perlahan kudorong pintu besi itu. Tak terkunci. Aku bersyukur dalam hati. Tak biasanya pintu gerbang telah dibuka sepagi ini. Ah, mungkin aku saja yang telah lama tak berkunjung kemari. Aku berjalan pelan menyusuri jalan setapak. Terakhir kali kakiku menjejak jalan ini adalah enam tahun lalu, tahun ketika ia pergi dariku. Ketika itu kususuri jalan ini dengan amarah bergolak. Aku merasa dicurangi, aku merasa tak dicintai, aku merasa ditinggalkan begitu saja tanpa peringatan. Aku marah dan setelahnya tak pernah lagi berkunjung ke tempat ini. Aku memutuskan merantau ke Jakarta, ikut pergi seperti dirinya, dan setelahnya menenggelamkan diriku dalam-dalam di dalam kerja dan senang-senang. Kini aku datang dengan perasaan yang baru dan hati yang lama. Dadaku berguncang. Ada gugup, bahagia, rindu, dan sedih berlompatan di sana. Semakin jauh berlari ternyata tak pernah mampu menjauhkan aku darinya. Jarak memang persoalan perasaan, bukan angka dan satuan-satuan.
Aku berhenti di hadapannya, memandanginya penuh rindu. Jantungku membuncah, air mataku berderai. Aku merasa tubuhku merekah dan segala beban dan kepalsuan lepas dan lesap. Aku pulang.
“Aku pulang, Jingga. Aku pulang.”
Seikat krisan putih yang kubeli tadi kuletakkan di pangkuannya. Aku berusaha menyentuh wajahnya. Dingin marmer di telapakku masih sama seperti enam tahun yang lalu. Ketika itu hujan turun mengiringi kepergian kekasihku.
Kami saling berpandangan, mataku dan nisannya, dalam diam paling nyaman yang pernah kurasakan.
“Aku rindu padamu, Jingga. Maukah kau memaafkanku?”
Tiba-tiba hujan turun. Deras.
Juli 2014
Ditulis untuk menjawab tantangan menulis #WhatIfLove dari @aMrazing