Dari Sini ke Jakarta

20140425-002833.jpg

Miliaran depa berbaris dari sini ke Jakarta.
Penduduk desa harus bahu-membahu menyambung jempol dengan jempol,
kelingking dengan kelingking, bila ingin tiba di Jakarta.
Tetapi aku sendirian, penduduk desa bergerak seperti biasa dengan jempol dan kelingking di masing-masing tangan.

Butuh lebih dari jalan Anyer-Panarukan untuk menyambung sini dengan Jakarta.
Bila dahulu bahu-bahu penduduk pesisir bahu-membahu menopang Jalan Daendels,
aku kini sendirian memoles aspal melanjutkannya hingga tiba di sini.
Penduduk desa tetap bangun pagi lalu berangkat bekerja di sawah ladang, tak peduli jalan sudah beraspal atau masih bopeng di sana-sini.

Penduduk desa tak tahu seberapa jauh dari sini ke Jakarta.
Sejak ada televisi, Jakarta sudah hadir di ruang tamu bersama macet dan genangan air setinggi lutut orang dewasa.
Penduduk desa tak lagi peduli pada jarak dari sini ke Jakarta.
Di sini mereka bisa memaki jenderal dari ruang duduk tanpa takut diciduk.

Seberapa jauh jarak dari sini ke Jakarta, Ibu?
Ibu hanya tersenyum di beranda, ia satu-satunya penduduk desa yang tahu persis kilometernya hingga dua angka di belakang koma.
Sekalipun tiap malam telah ia bisikkan itu rahasia, aku tetap belum tahu dengan apa akan tertempuh.
Yang kutahu Jakarta jauh, dari sini Ayah hanya terjangkau oleh doa aku dan Ibu.

April 2014

Published by


Leave a comment